just do it now, because never too late.



IPS merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang diberikan pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP dan SMA, bahkan, di Perguruan Tinggi. Adanya mata pelajaran IPS ini diharapkan dapat membentuk kemampuan siswa dalam memahami kondisi lingkungannya, mulai dari bergaul, menyikapi permasalahan, sampai menyelesaikannya. Sayangnya, seringkali mata pelajaran IPS dipandang sebagai mata pelajaran teks book dan nalar. Didalam pembelajaran di kelas, siswa seringkali ditugaskan untuk membaca materi yang ada di buku pegangan sampai-sampai mereka hafal di luar kepalanya. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pemberian mata pelajaran IPS di sekolah. Tidak sedikit guru di sekolah sering melaksanakan pembelajaran IPS seperti yang telah disebutkan sebelumnya. 

Hal ini sangat ironis. Padahal, pembelajaran IPS tidak semata-mata diberikan sebagai mata pelajaran yang dapat dipahami siswa dalam tingkat kognitifnya saja, melainkan pula sebagai mata pelajaran yang dapat menumbuhan tingkat afektif dan psikomotorik dalam kehidupan. Permasalahan dalam pembelajaran IPS di sekolah ini sebenarnya tidak terlepas dari peran guru pada proses pembelajarannya. Guru merupakan perangkat yang paling utama karena kegiatan pembelajaran di kelas sepenuhnya ada ditangannya dan tingkat keberhasilan yang akan dicapai siswa juga tergantung pada pemberian pembelajarannya. 

Hamid Hasan dalam buku Pendidikan Ilmu Sosial (1996:292) menulis,“Guru sebagai tenaga profesional yang merupakan pemegang kendali utama dalam proses pendidikan yang terjadi disuatu kelas tertentu.” Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa posisi guru sebagai pengendali proses belajar dikelas. Dengan begitu, seharusnya didalam melaksanakan perannya, guru dapat memaksimalkan kemampuan yang dimilikinya pada pemberian pembelajaran kepada siswanya. Demikian pula ketika berbicara mengenai peran guru dalam pembelajaran IPS. Sering kali para guru pada umumnya menggunakan teks book dalam pembelajaran IPS sehingga menyebabkan pencapaian siswa hanya pada ranah kognitif. Misalnya dalam pembelajaran mengenai gempa bumi, guru seringkali menerangkan mengenai gempa bumi tersebut dengan awal kalimat gempa bumi ialah, gempa bumi adalah, atau gempa bumi yaitu. Kemudian setelah itu langsung memberi kesimpulan tentang apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Padahal, jika guru dapat memahami materi apa yang akan diajarkan kepada siswanya, tentu guru akan memaksimalkan penggunaan metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan kegairahan siswa dalam belajar IPS. Dalam kasus ini, siswa dihadapkan pada kenyataan bahwa pembelajaran IPS itu sangat membosankan karena bergelut pada teks book dan nalar saja. Guru pun hanya menerangkan materi menggunakan kalimat seperti yang dicontohkan diatas. Pada hakikatnya, buku teks hanya sebagai buku dalam penunjang pembelajaran IPS, bukan merupakan keseluruhan pembelajaran yang harus diberikan atau dikuasai oleh siswa. Pembelajaran IPS di sekolah seharusnya lebih menekankan bagaimana menjadikan siswa peka terhadap lingkungan sosialnya. Dalam pembelajarannya, guru dapat mengkaitkannya dengan kehidupan sehari-hari siswa. Misalnya pada contoh materi gempa bumi sebelumnya, guru bisa menghubungkan materi tersebut dengan kehidupan nyata siswa. Guru dapat bertanya seperti ini; pernahkan daerah tempat kalian mengalami gempa bumi?; atau mengapa bisa terjadi gempa bumi di daerah kalian? Dengan begitu, siswa mendapatkan stimulus untuk berpikir kritis mengenai materi gempa bumi dan bagaimana cara penyelesaiannya. Berarti terkait hal ini, guru bisa menerapkan metode problem solving. Tentunya, hal ini juga menciptakan pembelajaran IPS yang kontekstual dan menumbuhkan kegairahan siswa dalam belajar IPS sehingga siswa tidak lagi berpandangan bahwa pemebelajaran IPS membosankan serta hanya terpaku pada teks book dan nalar. Selain itu, siswa dapat sedikit demi sedikit mengubah pandangannya mengenai pembelajaran IPS menjadi pembelajaran yang lebih menarik. Dengan cara yang digunakan diatas, guru secara sekaligus dapat mencapai ranah afektif dan psikomotor pada siswa dengan menumbuhkan rasa empati dan peduli terhadap lingkungannya. 

Dengan keterampilannya, siswa dapat berpikir untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi di lingkungannya. Kesimpulannya, untuk mengubah paradigma pembelajaran IPS di sekolah memang tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi dalam praktiknya masih banyak sekolah-sekolah yang membelajarkan IPS seperti yang telah dikemukakan diatas. Akan tetapi, jika saja para guru IPS mau mengubah metode dalam pembelajaran IPS di kelas, bukan tidak mungkin secara perlahan paradigma yang selama ini melekat pada IPS akan terhapuskan. Apalagi peluang untuk mengubah paradigma mengenai pembelajaran IPS yang berkembang pada siswa sekarang ditunjang dengan lahirnya kurikulum 2013. Kurikulum ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengajarkan IPS dengan lebih baik dan menarik siswa. Didalam kurikulum 2013, ada empat ranah Kompetensi Inti (KI) yang harus dapat dicapai oleh siswa. Jika guru mampu untuk mencapai keempat ranah KI dalam membelajarkan IPS kepada siswa, bukan tidak mungkin siswa dapat mencapai kemampuan dalam tingkat kognitif sekaligus afektif dan psikomotoriknya. Disinilah peran guru sangat penting dalam membuka paradigma siswa untuk pembelajaran IPS. Apalagi guru merupakan pemegang utama dalam proses pembelajaran. Andai saja guru mau bertindak sekarang, tidak ada kata terlambat dalam memperbaiki pembelajaran IPS agar lebih baik dimasa mendatang. Dengan begitu, pembelajaran IPS akan selalu menarik perhatian dan tidak akan ditinggalkan oleh siswa serta terkikis oleh perubahan zaman. Dengan kata lain, para guru harus memegang semboyan just do it now, because never too late. 

Ref: Hasan,Hamid.(1996).Pendidikan Ilmu Sosial.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Analisis Penyelesaian Rubik 2×2 Menggunakan Grup Permutasi

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)