Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
Konstruktivisme
Sebelum dibahas tentang
pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivisme maka terlebih dahulu
diberikan penjelasan tentang definisi matematika. Definisi atau pengertian
tentang matematika yang dikemukan oleh Soedjadi (2000:11) yaitu:
1.
Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan dan
terorganisir secara sistematik.
2.
Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan
kalkulasi.
3. Matematika adalah pengetahuan
tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan.
4.
Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta
kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.
5.
Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur
yang logik.
6.
Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan
yang ketat.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah
pengetahuan yang berhubungan dengan angka-angka (bilangan) yang berkaitan dengan
ruang maupun bentuk suatu bangun yang tersusun dan terikat dengan aturan-aturan
tertentu. Pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasinya memasuki suatu cabang
matematika, bahkan tidak jarang merupakan titik tolak suatu pengembangan
struktur dalam matematika. Dengan demikian tidaklah salah kalau orang
mengatakan bahwa “berhitung” itu amat penting dan mendasar.
Di Indonesia setelah
penjajahan Belanda dan Jepang, digunakan istilah “Ilmu Pasti” untuk matematika.
Dalam penyelenggaraan di sekolah digunakan berbagai istilah cabang matematika
seperti (1) Ilmu Ukur, (2) Aljabar, (3) Trigonometri, (4) Goniometri, (5)
Stereometri, (6) Ilmu Ukur Lukis, dan sebagainya. Ini berakibat antara lain
matematika seolah-olah terkotak-kotak yang saling tidak berhubungan sama sekali.
Penggunaan kata “Ilmu Pasti” menimbulkan kesan bahwa pelajaran matematika
merupakan pelajaran tentang perhitungan-perhitungan yang memberikan hasil yang
“pasti” dan “tunggal”. Hal tersebut dapat menimbulkan suatu “miskonsepsi” yang
pada waktunya harus dapat ditiadakan. Justru kemungkinan ketidaktunggalan hasil
tersebut dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika yang menekankan
“mengaktifkan siswa” atau “student active learning”.
Berdasarkan pendapat dan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat matematika merupakan kumpulan
ide yang bersifat abstrak dan struktur yang diatur menurut urutan yang logis.
Dengan demikian maka matematika sangat berhubungan dengan konsep-konsep abstrak
yang dikembangkan berdasarkan alasan yang logis.
Sebagian besar
pembelajaran matematika tradisional berdasarkan pada transmisi, penyebaran dan
penggerojokan pengetahuan. Dalam hal ini Clements (dalam Tamrin, 2003:14)
menyatakan: “Siswa secara pasif “menyerap”
struktur matematika yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku
pelajaran. Pembelajaran ini hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip,
dan ketrampilan kepada siswa”.
Pembelajaran
konvensional yaitu guru penentu jalannya proses pembelajaran, sedangkan siswa
sebagai penerima informasi secara pasif. Dalam pembelajaran siswa lebih banyak
belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi
pelajaran. Sesuai dengan urutan isi buku teks, diharapkan siswa memiliki
pandangan yang sama dengan guru atau sama dengan buku teks.
Berbeda dengan
pembelajaran konstruktivisme yaitu siswa belajar berdasarkan pengalaman awal
yang selanjutnya akan membentuk struktur pengetahuan baru atau pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas.
Asri (2005:63) menyatakan
bahwa pembelajaran kontruktivis adalah:
(1) kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan
menuju ke bagian-bagian dan lebih mendekatkan pada konsep yang lebih luas,
(2) pembelajaran lebih menghargai pada
pemunculan pertanyaan ide-ide siswa,
(3) kegiatan kurikuler lebih banyak
mengandalakan pada sumber data prima dan manipulasi bahan,
(4) siswa dipandang sebagai
pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya,
(5) pengukuran proses dan hasil belajar
siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru
mengamati hal-hal yang dilakukan siswa serta memulai tugas-tugas pekerjaan, dan
(6)
siswa-siswa banyak belajar didalam group proses.
Sedangkan pembelajaran konvensional menurut Asri (2005:63) adalah:
(1) kurikulum disajikan dari bagian-bagian
menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar,
(2) pembelajaran sangat taat pada kurikulum,
(3) siswa dipandang sebagai “kertas kosong”
yang dapat digoresi informasi oleh guru dan guru-guru pada umumnya menggunakan
didakti dalam menyampaikan informasi kepada siswa,
(4) penilaian hasil belajar atau pengetahuan
siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada
akhir pelajaran dengan cara test, dan
(5) siswa bekerja sendiri-sendiri tanpa
ada group proses dalam belajar.
Jadi pembelajaran
konstruktivis lebih menekankan adanya belajar kelompok sedangkan dalam
pembelajaran konvensional tidak adanya belajar kelompok, semua tugas yang
diberikan harus diselesaikan sendiri oleh siswa.
Hal ini sesuai dengan yang
diharapkan dan sesuai pula dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, seorang
guru harus berusaha memperbaharui pembelajarannya, memberikan pengalaman
belajar yang berarti bagi siswa, serta punya kemampuan merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran dengan baik sehingga siswa mampu menerapkannnya dalam
kehidupan.
Selanjutnya Hudoyo
(1990:96) menyatakan bahwa “Strategi
belajar mengajar juga sangat menentukan hasil belajar”. Pemilihan strategi yang
tepat akan mempermudah proses pengetahuan
pada diri siswa, apalagi menyangkut kajian terhadap materi-materi yang dianggap
sukar oleh siswa. Di pihak
lain, tidak sedikit pula guru masih menganut paradigma lama dalam pembelajaran
matematika masa kini. Paradigma lama
beranggapan bahwa siswa merupakan objek atau sasaran belajar, sehingga dalam
proses pembelajaran berbagai usaha banyak dilakukan guru mulai dari mencari,
mengumpulkan, memecahkan, dan menyampaikan informasi ditujukan agar peserta
didik memperoleh pengetahuan.
Tahap pertama terdiri
dari : “membaca teks” dan mengutip informasi yang relevan tentang masalah yang
dibahas. Dalam membuat atau menulis catatan, siswa membedakan dan mempersatukan
ide yang disajikan dalam teks bacaan, kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa
sendiri. Menurut Widerhold (Ansari, 2004:33) bahwa:
Membuat catatan berarti menganalisis tujuan isi teks dan memeriksa
bahan-bahan yang ditulis”. Selain itu belajar rutin menulis catatan setelah
membaca merangsang aktivitas berfikir sebelum mempertinggi pengetahuan siswa,
bahkan meningkatkan keterampilan berpikir dan menulis. Kemampuan membaca dan
membaca secara koprehensif (reading
comprehension) secara umum dianggap berpikir, meliputi membaca baris demi
baris (reading the lines) atau
membaca yang penting saja (reading the
between lines). Seringkali suatu teks bacaan selalu diikuti oleh panduan,
bertujuan untuk mempermudah diskusi dan mengembangkan pemahaman konsep
matematika.
Tahap yang kedua, siswa
diminta untuk bekerja sama menukar informasi mereka yang berbeda dan saling
bertanya tentang segala sesuatu yang tidak dimengerti. Perbedaan inilah
sehingga diperlukan diskusi yang akan menghasilkan solusi bagi masalah yang
dimaksud. Semua solusi yang
relevan untuk mengatasi masalah yang dibahas harus didokumentasikan dalam
bentuk tulisan (teks). Dalam tahap ini
kita dapat melihat bahwa siswa diajak untuk menyajikan ide kepada temannya,
membangun teori bersama, sharing,
strategi solusi, dan membuat definisi, serta pembentukan ide (forming ideas). Dalam proses ini ide
sering kali dirumuskan, diklasifikasikan atau direvisi. Tahap ini juga membantu
guru mengetahui tingkat pemahaman siswa dalam belajar matematika sehingga dapat
mempersiapkan perlengkapan pembelajaran yang dibutuhkan.
Teori-teori dalam psikologi
pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivis (construktivist theories of learning).
Teori ini lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Konstruktivisme memandang
siswa sebagai anggapan sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari materi
baru meskipun pengetahuan awal tersebut masih sangat sederhana. Keduanya
menekan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsep-konsep yang telah
dipahami sebelumnya diolah melalui proses ketidakseimbangan untuk memahami
informasi baru. Piaget dan Vygotsky juga menekankan adanya hakikat sosial dari
belajar, dan keduanya menyarankan penggunaan kelompok belajar yang anggotanya
terdiri dari siswa dengan kemampuan yang beragam untuk mengupayakan pemahaman
konseptual. Ide-ide konstruktivis modern sekarang lebih banyak didasarkan pada
ide-ide Vygotsky yang telah digunakan
untuk menunjang belajar kooperatif.
Konstruktivisme menekankan
bahwa peranan utama kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam membangun
pengetahuan berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, melalui
proses internalisasi sehingga konsep dapat ditentukan kembali. Hal tersebut
sesuai dengan yang dikemukakan Hudojo ( 2000:13) teori kontruktivisme ini menyatakan bahwa:
Siswa harus menemukan
sendiri dan mentranformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan lama itu tidak lagi
sesuai bagi murid agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan,
mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk
dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Selanjutnya teori
konstruktivisme ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi
pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa. Siswa membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan murid untuk
menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi
sadar dan secara sadar menggunakan
strategi mereka sendiri. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa
siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus
memanjat anak tangga tersebut (Hudojo, 2000:13). Selanjutnya Hudojo (2003:14)
menyatakan bahwa pembelajaran matematika konstruktivis mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
(a)
Siswa
terlibat aktif dalam belajarnya, siswa belajar materi matematika secara
bermakna dengan bekerja dan berpikir,
(b) Informasi baru harus dikaitkan
dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skema yang dimiliki murid,
dan
(c)
Orientasi
pembelajaran adalah investasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan
masalah.
Sebagian besar
pembelajaran matematika tradisional berdasarkan pada transmisi, penyebaran dan
penggerojokan pengetahuan. Dalam hal ini Clements (dalam Tamrin, 2003:14)
menyatakan: “Siswa secara pasif “menyerap”
struktur matematika yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku
pelajaran. Pembelajaran ini hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip,
dan ketrampilan kepada siswa”.
2.3 Prestasi Belajar Matematika
Poerwadarminta (dalam
Sari,2007) mendefinisikan bahwa prestasi merupakan hasil yang telah dicapai
oleh seseorang dalam suatu usaha yang dilakukan atau dikerjakan. Defenisi di
atas sejalan dengan pendapat Winkel (dalam Sari,2007) yang menyatakan bahwa
prestasi adalah bukti usaha yang dicapai.
Istilah
prestasi selalu digunakan dalam mengetahui keberhasilan belajar siswa di
sekolah. Prestasi belajar adalah suatu nilai yang menunjukan hasil yang
tertinggi dalam belajar yang dicapai menurut kemampuan siswa dalam mengerjakan
sesuatu pada saat tertentu. Selanjutnya Soejanto (dalam Sari,2007) menyatakan
bahwa prestasi belajar dapat pula dipandang sebagai pencerminan dari
pembelajaran yang ditunjukan oleh siswa melalui perubahan-perubahan dalam
bidang pengetahuan/pemahaman, keterampilan, analisis, sintesis, evaluasi serta
nilai dan sikap.
Prestasi
belajar siswa ditentukan oleh dua faktor yaitu intern dan ekstren. Faktor
intern merupakan faktor-faktor yang berasal atau bersumber dari siswa itu
sendiri, sedangkan faktor ekstern merupakan faktor yang berasal atau bersumber
dari luar peserta didik. Faktor intern meliputi prasyarat belajar, yakni
pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa sebelum mengikuti pelajaran
berikutnya, keterampilan belajar yang dimiliki oleh siswa yang meliputi
cara-cara yang berkaitan dengan mengikuti mata pelajaran, mengerjakan tugas,
membaca buku, belajar kelompok mempersiapkan ujian, menindaklanjuti hasil ujian
dan mencari sumber belajar, kondisi pribadi siswa yang meliputi kesehatan, kecerdasan,
sikap, cita-cita, dan hubungannya dengan orang lain. Faktor ekstern antara lain
meliputi proses belajar mengajar, sarana belajar yang dimiliki, lingkungan
belajar, dan kondisi sosial ekonomi keluarga (Usman, 1995: 12).
Berdasarkan
pengertian prestasi yang dikemukakan para ahli, maka dapat dikatakan bahwa
prestasi belajar matematika adalah tingkat penguasaan yang dicapai siswa dalam
mengikuti proses belajar mengajar matematika sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Prestasi yang dicapai oleh siswa merupakan gambaran hasil belajar
siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar dan merupakan interaksi antara
beberapa faktor.
Komentar
Posting Komentar