Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Judul Buku: Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Fiksi, Romance
Terbit: Cetakan X, Mei 2013
Tebal: 264 halaman
ISBN: 978-979-22-5780-9
Harga: Rp 48.000,-
Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan
Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan,
tempat berteduh, sekolah dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih
sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan
lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.
Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi
tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri,
biarlah… Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun… daun yang tidak
pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
**
**
Selalu dibuat speechless dengan novelnya Tere Liye. Saya memang
sangat suka dengan karyanya, mungkin ini yang menjadikan saya bingung
setiap kali mau mereview bukunya. Apa yang mau saya tulis, toh saya
selalu bilang suka xD
Well, ijinkan saya untuk tidak mereview serius kali ini. lol
(memangnya selama ini saya selalu serius ya−−sepertinya biasa saja).
haha
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Judul kalimat yang cukup
lugas, tidak melenceng dengan cerita yang ada dalam novel ini.
Cerita yang disuguhkan mengambil sudut pandang orang pertama. Dengan
aku sebagai Tania. Latar tempat dan waktu yang digunakan sangat menarik.
Hanya di toko buku dengan waktu yang sempit, hanya satu jam lima belas
menit, ditambah hanya satu waktu esok harinya. (sulit menjelaskan bagian
ini, kalau penasaran lebih baik baca sendiri).
Alur yang dipakai adalah alur maju-mundur. Jadi, sebenarnya tidak
hanya di toko buku, ada beberapa tempat lain yang akan pembaca lalui
bersamaan dengan cerita ini.
Tania menceritakan tentang bagaimana perjalanan hidupnya dari seorang
pengamen jalanan−−yang berusia sebelas tahun dan adiknya Dede yang
masih enam tahun. Tinggal bersama ibu sebatang kara di rumah kardus
dekat pohon linden. Hingga ia bertemu seorang ‘malaikat’ untuk
keluarganya bernama Danar.
Tidak hanya tentang kehidupan tapi juga tentang perasaannya.
Perasaan yang bermekaran begitu saja saat usianya masih tigabelas tahun.
Tidak hanya sampai usia itu saja, tapi rasa itu terus berlanjut hingga
ia tumbuh dewasa, pintar, dan cantik.
Saya dibawa larut dalam cerita Tania, tidak ada yang ganjil−−semuanya
berjalan dengan rasional. Tidak ada love story seperti di
dongeng-dongeng, semuanya serba apa adanya.
Tapi wajarkah seorang gadis berusia tigabelas tahun jatuh cinta pada seorang laki-laki yang usianya sudah duapuluh tujuh tahun?
Mungkin inilah yang menarik dari novel ini. Dalam kenyataan, hal ini sangat tidak wajar, perasaan gadis kecil itu paling hanya perasaan kagum, tidak mungkin cinta kan? Tapi siapa yang bisa menduga, bukankah cinta tidak mengenal batas waktu, bahkan ruang sekalipun. Status pun tidak bisa jadi jaminan untuk membatasi cinta.
Mungkin inilah yang menarik dari novel ini. Dalam kenyataan, hal ini sangat tidak wajar, perasaan gadis kecil itu paling hanya perasaan kagum, tidak mungkin cinta kan? Tapi siapa yang bisa menduga, bukankah cinta tidak mengenal batas waktu, bahkan ruang sekalipun. Status pun tidak bisa jadi jaminan untuk membatasi cinta.
Klimaks mulai muncul setelah Tania masuk junior high school di
Singapore (beasiswa ASEAN scholarship). Meninggalkan Danar dan Dede.
Bagaimana dengan ibu? Ibu sudah meninggal sesaat setelah Tania lulus SD.
“Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan semangat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun yang jatuh… Biarkanlah angin yang menerbangkannya…” – Danar. (page 70)
“Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan semangat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun yang jatuh… Biarkanlah angin yang menerbangkannya…” – Danar. (page 70)
Aku seperti bisa menyelami bagaimana perasaan Tania, terlebih puncak
klimaksnya saat Tania tahu Kak Danar kembali merajut kasih dengan Kak
Ratna, bahkan memutuskan untuk menikah.
Selanjutnya, saya speechless untuk mereviewnya. Terlebih sebenarnya
saya tidak mau menceritakan lebih detail karena takut kena spoiler.
Well, tidak lepas dari novel. Saya pengin share tokoh yang saya suka dalam novel ini. Dia adalah Dede. i love this boy.
Untuk yang tidak kusuka sebenarnya tidak ada, tapi saya agak geregetan dengan tokoh Danar. Pengin neriakin dia pake toa kalau beneran saya bisa masuk ke dalam cerita ini. lol
Untuk yang tidak kusuka sebenarnya tidak ada, tapi saya agak geregetan dengan tokoh Danar. Pengin neriakin dia pake toa kalau beneran saya bisa masuk ke dalam cerita ini. lol
Untuk cover saya rasa tidak masalah, i like this cover. Green, menyejukkan.
Tidak hanya cover saja yang menyejukkan, melainkan isi buku ini pun sejuk dari typo (sama sekali tidak ada typo)−−tapi ada satu sih Anni, seharusnya Anne (page 214). Tapi itu tidak menganggu :D
Sayangnya tidak ada bookmarknya, huh syebel x(
Tidak hanya cover saja yang menyejukkan, melainkan isi buku ini pun sejuk dari typo (sama sekali tidak ada typo)−−tapi ada satu sih Anni, seharusnya Anne (page 214). Tapi itu tidak menganggu :D
Sayangnya tidak ada bookmarknya, huh syebel x(
At least, saya kagum dengan gaya ceritanya bang Tere, tidak membuat
saya risih dan mengernyitkan dahi. Tulisannya selalu menginspirasi saya,
untuk tidak bercerita dengan sekedar menjual kata-kata, tapi juga makna
dibalik kata-kata itu. Tidak terkesan dibuat-buat, tapi karena kata
tersebut memang dibutuhkan dalam cerita.
The most quotes i like:
“Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok lusa.”- Danar.
“Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok lusa.”- Danar.
“Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin.”
“Dede dulu tak mengerti apa maksudnya. Kalimat itu bahkan terdengar
menyebalkan. Dede bahkan mengibaskan tangan orang yang mengatakannya
(…)”
“Dede ternyata keliru (…)”
“Bahwa hidup harus menerima… penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus
mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman
yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman
itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan
menyakitkan.” – Dede. (page 196)
“(…) Ada banyak kebaikan yang justru berbalik menikam, menyakitkan
pemberinya.” – Anne (page 212) *aku pernah ngalamin ini rasanya watdepak
banget x(
“Dulu Anne pernah bilang, orang yang memendam perasaan
sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua
kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk
menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga
suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul
yang dusta.” (page 247)
Komentar
Posting Komentar